DeParenting.com
  • Login
  • News
  • Artikel
  • Tips
  • Gaya Hidup
  • Homeschooling
  • Ruang Keluarga
No Result
View All Result
  • News
  • Artikel
  • Tips
  • Gaya Hidup
  • Homeschooling
  • Ruang Keluarga
No Result
View All Result
DeParenting.com
No Result
View All Result
Home Homeschooling

Melihat Keseharian Ellen Nugroho, Koordinator Homeschooler Indonesia

Seringkali orang tua mengeluh, betapa banyak kegiatan sehari-hari yang mesti dikerjakannya. Seabrek pokoknya. Merasa capek dan jenuh, mari kita lihat bagaimana sibuknya keseharian Ellen Nugroho.

Hanung Soekendro by Hanung Soekendro
28 Mei 2020
in Homeschooling
64 0
0
Melihat Keseharian Ellen Nugroho, Koordinator Homeschooler Indonesia 1
132
SHARES
638
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

DeParenting.com – Saya seorang ibu, punya tiga anak, satu sudah remaja, satu hampir remaja, satu lagi masih balita. Ketiga anak saya semuanya tidak sekolah. Kami menjalani homeschooling atau pendidikan berbasis keluarga. Sejauh ini proses belajar akademis seluruhnya masih kami lakukan mandiri, tanpa bantuan guru dari luar keluarga. Dan sejak Lebaran lalu, kami tidak lagi dibantu asisten rumah tangga.

Selain mengurus keluarga dan anak-anak, sehari-hari saya juga harus mengelola beberapa lembaga, organisasi, dan komunitas – yang mengharuskan saya untuk rutin ke kantor, mengatur staf, menulis, rapat, legal drafting, sosialisasi, dan lain-lain. Di akhir pekan, saya biasanya berkeliling ke berbagai kota untuk mengajar filosofi dan metode pendidikan. Dan belakangan ini saya melibatkan diri dalam isu krisis iklim, mengkoordinir jejaring lokal warga kota yang peduli iklim dan alam.

RekomendasiBaca

Download Aplikasi AR, Cara Siswa Belajar Biologi Dengan Menarik

Bagaimana Menjalankan Homeschooling? Simak Cerita Keluarga Homeschooler Ini

Dear Guru…. Ternyata Siswa Hanya Konsentrasi di 20 Menit Pertama Pelajaran

Sekarang anda boleh tebak, respons apa kira-kira yang muncul dari orang-orang yang tahu bahwa saya melakukan sederet kegiatan tadi? Sangat menarik. Dari para lelaki, saya belum pernah mendapat respons apa pun – tidak ada pertanyaan, tidak ada komentar. Tapi dari para perempuan, terutama sesama ibu-ibu, saya sering sekali ditanyai: “Bagaimana caramu membagi waktu?”

Pertanyaan ini sebetulnya seksis. Jarang sekali laki-laki ditanyai seperti itu, karena laki-laki biasanya tidak dianggap harus bertanggung jawab untuk urusan rumah tangga. Selain seksis, menurut saya, pertanyaan itu juga tidak tepat dan tidak banyak gunanya. Ini pertanyaan yang keliru sejak awalnya, karena terlalu fokus pada hal teknis.

Ada dua masalah mendasar dengan pertanyaan teknis seperti itu.

Pertama, soal konteks. Kalaupun pertanyaan itu dijawab, saya menjabarkan jadwal harian saya dari bangun tidur sampai tidur lagi, apakah si penanya akan bisa meniru sepenuhnya yang saya lakukan? Saya sangat meragukannya. Teknik saya mengelola kegiatan dirancang secara spesifik, disesuaikan dengan konteks tantangan dan situasi saya. Karena saya dan si penanya adalah pribadi dengan karakter berbeda, hidup bersama orang-orang berbeda, di lingkungan berbeda, dengan sumber daya berbeda, tips dan trik saya mustahil bisa ditransfer 100% untuk konteks dia.

Kedua, soal alasan. Kalaupun si penanya bisa meniru yang saya lakukan, apakah dia mau? Misalnya, saya bilang: “Oh, begini resepnya, setiap hari saya bangun sebelum subuh. Di rumah saya tidak ada TV. Saya jarang sekali ke bioskop, apalagi menonton drama Korea. Saya baca buku dan menulis sehari sekian jam. Saya rutin meditasi, olahraga, bla-bla-bla.” Jangan-jangan nanti yang muncul komentar: “Ih, susah amat!” atau “Saya mah nggak akan sanggup hidup kayak gitu!”?

Melihat Keseharian Ellen Nugroho, Koordinator Homeschooler Indonesia 2
Ellen Nugroho. Foto: Pribadi

Manajemen waktu sebagai hal teknis tidak pernah bebas konteks. Artinya, tips dan trik mengelola waktu satu orang tak pernah bisa ditransfer begitu saja ke kehidupan orang lain, karena tidak pernah ada dua orang yang situasi hidupnya identik, sama persis. Saya kira, ambisi mengaplikasikan teknik hidup orang lain ke dalam kehidupan kita hanya akan menghasilkan frustrasi.

Manajemen waktu sebagai hal teknis juga tidak pernah bebas dari alasan. Dalam urutan berpikir, aspek teknis selalu hanya jabaran dari aspek yang lebih konseptual. Kita memikirkan cara sebagai kelanjutan dari tujuan. Kita butuh memperjelas dulu kita sebetulnya ingin mencapai apa, setelah itu baru kita bisa memikirkan bagaimananya.

Jadi menurut saya, alih-alih bertanya: “Bagaimana caramu mengelola sekian banyak kegiatan itu?”, akan lebih relevan dan berguna jika si penanya mencari tahu dulu: “Mengapa kamu mau melakukan sekian banyak kegiatan itu?” Pertanyaan “mengapa” akan memberi kita jawaban yang sifatnya konseptual, tentang nilai, tentang prinsip, tentang sikap, tentang keyakinan sebetulnya hidup yang singkat ini mau dihabiskan buat apa.

Mendengar orang lain bercerita tentang tujuan hidupnya akan membangkitkan perenungan dalam diri kita tentang tujuan hidup kita sendiri. Apakah tujuan orang itu sama dengan tujuan saya? Kalau tujuan kita dan dia sejak awal sudah tidak sama, buat apa susah-susah memelajari cara dia mencapai tujuannya? Kalaupun tujuan kita dan dia sama, bukankah cara mencapainya tidak harus sama?

Ketika seorang perempuan terlalu fokus pada aspek “bagaimana” dan kurang merefleksikan soal “mengapa”, dia ada dalam bahaya dibuat frustrasi oleh target-target teknis yang ditetapkan oleh orang lain.

Baca juga:  Homeschooling, Mendidik Anak di Rumah

Sebagian karena kecenderungan kepribadian bawaan, sebagian lagi karena cara orangtua mendidik, saya tumbuh menjadi pribadi yang selalu bertanya mengapa. Ellen kecil sangat tomboy. Saya mempertanyakan: Mengapa perempuan harus pakai rok? Mengapa perempuan harus berdandan? Mengapa perempuan dianggap lebih cantik kalau berambut panjang? Haruskah perempuan berkulit putih dan tidak boleh panas-panasan? Sampai sekarang saya tidak suka pakai rok, tidak suka berdandan, tidak tahan berambut panjang, dan tak pernah pakai tabir surya kalau sedang unjuk rasa di jalan. Keperempuanan saya tidak ditentukan oleh semua ornamen itu.

Melihat Keseharian Ellen Nugroho, Koordinator Homeschooler Indonesia 3
Ellen Nugroho. Foto: @tedxmlatiwomen

Contoh lain, tentang menikah. Masyarakat kita luar biasa “merundung” perempuan agar cepat-cepat menikah. Berapa banyak perempuan yang dilanda kecemasan akibat perundungan itu? Lantas pikiran mereka sibuk sekali memikirkan “bagaimana” – bagaimana cepat punya gandengan, yang bisa dipamerkan pada keluarga, kerabat, dan lingkungan sebagai calon suami, yang berkomitmen melamar. Berapa banyak perempuan yang di tengah desakan untuk cepat menikah itu secara serius merenungkan: “Mengapa saya harus menikah?” “Pernikahan itu hakikatnya apa sebetulnya?” Kalau menikah sekadar untuk menyenangkan  orang lain, nanti kita akan salah memilih pasangan.

Saya juga menolak sikap sakralisasi sekolah. Sekolah adalah tempat belajar, saya setuju. Tapi sekolah sebagai satu-satunya tempat belajar, saya tidak setuju. Sebelum sekolah, kita sudah belajar. Setelah lulus sekolah, kita juga tetap belajar.

Mengumpulkan pengetahuan dan keterampilan adalah kegiatan yang terus-menerus kita lakukan, sejak kita lahir sampai kita mati. Belajar itu luas, tidak melulu soal mata pelajaran yang ada di rapor, tidak dibatasi jam sekolah, tidak selalu dalam ruang kelas, tidak harus didampingi guru tersertifikasi.Itu sebabnya, slogan homeschooler adalah: belajar apa saja, kapan saja, di mana saja, dari siapa saja.

Namun, kenyataannya, masyarakat kita dibelenggu oleh paradigma bahwa pendidikan identik dengan persekolahan. Maka, ketika ada orangtua yang memutuskan untuk homeschooling, tidak menyekolahkan anak, mendidik anak secara mandiri berbasis keluarga, keluarga besar dan orang-orang sekitar akan heran, keberatan, atau menentang. “Mau jadi apa anakmu kalau tidak sekolah?” Mereka bertanya begitu karena di benak mereka tidak sekolah sama dengan tidak belajar. Tidak belajar sama dengan bodoh. Bodoh sama dengan masa depan suram.

Melihat Keseharian Ellen Nugroho, Koordinator Homeschooler Indonesia 4
Ellen Nugroho. Foto: Pribadi

Saya pribadi memutuskan untuk tidak menyekolahkan anak pertengahan tahun 2007, menjelang anak pertama saya usia satu tahun. Keputusan itu saya ambil dengan cepat, kurang dari sepuluh menit. Pemicunya waktu itu adalah saya membaca satu artikel tentang homeschooling. Sebelumnya saya sama sekali tidak terpikir untuk homeschooling, tapi begitu saya selesai membaca artikel tersebut, saya langsung setuju dan bertekad untuk menjalaninya. Saya komunikasikan ke suami: “Kita tidak usah sekolahkan anak-anak ya, kita homeschooling saja.” Dengan sedikit penjelasan, suami langsung sepakat.

Dari pengalaman hidup saya, saya pikir penting sekali perempuan bertanya mengapa tentang semua pilihan dalam kehidupannya. Alih-alih sibuk mencari tahu soal teknis mengelola waktu untuk hidup seperti orang lain, mengapa kita tidak lebih dulu mematangkan visi hidup kita pribadi? “Saya ini lahir ke dunia untuk apa? Demi apa saya melakukan ini, melakukan itu?”

Dengan berefleksi nanti kita akan dapati bahwa tidak semua pilihan yang penting buat orang lain, yang bagus menurut orang lain, penting dan bagus juga buat kita. Rugi sekali jika kita ikut-ikutan orang lain, karena untuk semua pilihan kegiatan ada waktu yang harus dikorbankan, ada energi yang harus dihabiskan, ada harga yang harus dibayar. Di dunia ini banyak tawaran bagus, tapi sumber daya kita terbatas, sehingga kita harus memilih yang benar-benar penting.

Saya pikir setiap perempuan akan diuntungkan jika berhenti silau pada capaian para perempuan lain, dan lebih serius merenungkan visi personalnya. Jika visi hidup kita sudah jernih, maka lebih mudah bagi kita merumuskan cara mencapainya yang sesuai konteks kita, sesuai misi hidup kita. Dan saat kita menjalani hidup secara otentik, Hidup bisa sangat bermurah hati memberi bonus, mempertemukan kita dengan pasangan dan kawan-kawan sevisi, yang mau berkolaborasi secara teknis – aspek “bagaimana” – untuk meraih tujuan – “mengapa” – yang bermakna buat kita.

 

*Artikel ini ditulis oleh Ellen Nugroho, Koordinator Nasional Perkumpulan Homeschooler Indonesia dan dengan sedikit editing dari redaksi.

Tags: Ellen Nugrohoheadlinehomeschooling
Previous Post

TVRI, “Belajar dari Rumah” dan Jadwal lengkap 13-17 April

Next Post

Apakah Siswa yang Belajar di Rumah itu Homeschooling?

Hanung Soekendro

Hanung Soekendro

Related Posts

Grafis daftar tunggu haji semua provinsi di Indonesia. (DeParentng/Tangkapan layar instagram @informasihaji)
Ruang Keluarga

Lama Daftar Tunggu Haji Semua Provinsi di Indonesia, Ada yang 34 Tahun!

21 Februari 2021
Keluarga homeschooling. (DeParenting/phi.or.id)
Homeschooling

Bagaimana Menjalankan Homeschooling? Simak Cerita Keluarga Homeschooler Ini

19 Februari 2021
Ilustrasi Arena Skateboard Flyover Purwosari. (DeParenting/Pixabay)
Lifestyle

Menarik! Arena Skateboard Flyover Purwosari di Kolong Jembatan

13 Februari 2021
Ilustrasi beda tren jilbab di Indonesia dan Malaysia. (DeParenting/ Ratna Fitry-Pixabay)
Lifestyle

Beda Tren Jilbab di Indonesia dan Malaysia, Cantik Mana?

9 Februari 2021
Penampakan seekor buaya sedang jalan-jalan di perumahan saat banjir Semarang. (DeParenting/WhatsApp)
News

NGERI! Seekor Buaya Jalan-Jalan di Perumahan Saat Banjir Semarang?

7 Februari 2021
Bakpao Imlek Solo. (DeParenting/Tangkapan layar instagram @chubbypaoku)
Ruang Keluarga

Bakpao Imlek Solo, Lucu dan Harga Cuma Rp 8 Ribu

5 Februari 2021
Next Post
Apakah Siswa yang Belajar di Rumah itu Homeschooling? 5

Apakah Siswa yang Belajar di Rumah itu Homeschooling?

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Top Stories

Anggota Komisi E DPRD Jateng, Yudi Indras Wiendarto. (DeParenting)

Ibu-Ibu, Yuk Bikin Makanan Enak dan Jual Online…..

24 Februari 2021
Rumah Pompa Kota Lama. (DeParenting/Dok. Humas Prov Jateng)

Banjir Semarang, Ganjar Cek Kota Lama Semarang

24 Februari 2021
Aplikasi AR. (DeParenting/Tangkapan layar Youtube @Ricko Asterisk)

Download Aplikasi AR, Cara Siswa Belajar Biologi Dengan Menarik

22 Februari 2021

News & More

Kategori

  • Review Sekolah
  • Artikel
  • Tips
  • Lifestyle
  • Homeschooling
  • Hubungi Kami

About Us

Deparenting.com hadir dan ingin berbagi mengenai tips mendidik anak, mengasuh, membesarkan dan membentuk karakter anak. Lantaran sikap anak-anak yang seringkali bandel dan butuh cara menasehati agar nurut. Tak hanya itu, parenting bersifat menyeluruh hingga membentuk pribadi yang arif dan bijak dalam menyikapi persoalan.

Connect on Social

© 2020 DeParenting

No Result
View All Result
  • News
  • Artikel
  • Tips
  • Gaya Hidup
  • Homeschooling
  • Ruang Keluarga

© 2020 DeParenting - Berbagi cerita parenting dan home schooling.

Welcome Back!

Sign In with Facebook
OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist