DeParenting.com – Jawa Tengah mendapatkan sinyal merah kasus kekerasan pada perempuan dan anak. Bagaimana tidak, Jawa Tengah menduduki peringkat pertama dari 34 provinsi di Indonesia untuk jumlah kasus kekerasan pada perempuan.
Mengalahkan, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan di posisi kedua dan ketiganya. Untuk kekerasan pada anak, Jawa Tengah ada di posisi kedua.
Secara berturut-turut dari tahun 2017-2019, jumlah kekerasan pada perempuan 2.044 kasus, 1.017 kasus dan 1.649 kasus. Jumlah ini berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Korban kekerasan Berbasis Gender dan Anak (KPK2BGA) Jawa Tengah yang bersumber dari Kementerian PPA.
Jika dilihat lebih detil lagi, ada tiga wilayah di Jawa Tengah yang mencatatkan kasus tertinggi di 2019. Yaitu Kota Semarang 243 kasus, Kabupaten Semarang 142 kasus dan Kabupaten Wonosobo 101 kasus.
Ketua Komisi Perlindungan Korban kekerasan Berbasis Gender dan Anak (KPK2BGA) Jawa Tengah, Rika Saraswati mengatakan kekerasan pada permepuan dan anak layaknya fenomena gunung es. Kasus yang dilaporkan dan didata hanya berada di pucuk atau lebih sedikit dari jumlah kasus secara riil. Alasannya, malu melaporkan.
“Kekerasan itu seperti puncak gunung es. Yang kelihatan yang dilaporkan. Yang banyak tidak dilaporkan. Alasannya, belum paham, rasa malu dan tidak mau repot. Apalagi kekerasan seksual. Kadang di daerah jauh dari pusat layanan. Itu mempengaruhi,’’ kata Rika yang juga dosen Unika Soegijapranata Semarang.
Bentuk kekerasan pada perempuan paling banyak adalah KDRT. Sementara pada anak-anak seperti bullying, kekerasan seksual dari pacar atau orang dewasa, maupun kekerasan fisik lainnya. Kekerasan seksual pada anak juga tercatat cukup tinggi di Jawa Tengah. Tak jarang hal itu dilakukan oleh pacar.
Dari pendataan dan pemetaan yang dilakukan, ada sejumlah faktor yang mempengaruhi tingkat kekerasan pada perempuan dan anak. Seperti faktor ekonomi, latar belakang pendidikan pelaku, teknologi informasi. Tingginya jumlah kasus yang terdata juga disebut menjadi catatan positif meningkatnya kesadaran masyarakat dan bekerja dengan efektifnya lembaga yang menangani.
Menurut Rika, tingginya angka kekerasan seksual pada anak disebabkan penyalahgunaan teknologi informasi dan minimnya pendidikan seksual pada anak di sekolah serta pendidikan antibullying.
“Mereka mudah dapatkan informasi. Belum bisa menyaring mana yang baik dan mana yang tidak. Sehingga harusnya jadi nformasi yang baik malah disalahgunakan,’’ terangnya.
Ia mendesak pada dinas terkait, agar siswa diberikan pendidikan seksual di sekolah. Tak hanya dari dampak biologisnya tapi juga dampak sosial, ekonomi serta psikologi. Hal itu dinilai sebagai cara pencegahan tindak kekerasan seksual dalam jangka panjang.

Sementara itu dalam penanganan korban tindak kekerasan pada anak, pihaknya menilai ada kedodoran dalam hal rehabilitasi serta konseling psikologis. Harusnya ada jumlah pertemuan ideal dalam melakukan konseling agar korban bisa pulih.
Sementara itu untuk korban kekerasan pada perempuan karena faktor ekonomi, mesti diberikan pelatihan. Tentunya selain rehabilitasi. Pelatihan ketrampilan bertujuan memberikan kemandirian ekonomi sehingga kekerasan itu tak terulang kembali.